Sengkarut Etika di Pengadilan

Vina Septi Megita

Sengkarut Etika di Pengadilan

suarahukum.com - Bentuk perbuatan melawan atau merendahkan kehormatan hakim masih berkembang di Indonesia, menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat akan hukum terbilang kurang. Salah satunya dibuktikan berdasarkan laman resmi Mahkamah Agung (MA) pada tanggal 28 Januari 2021.

Kericuhan terjadi dalam sidang kasus pelanggaran Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dengan terdakwa pasangan suami istri, GL dan TR, di Pengadilan Negeri (PN) Sidoarjo.

Awal kericuhan terjadi saat hakim meminta terdakwa, GL yang mengenakan baju toga untuk berganti pakaian. Alasannya, meski berprofesi sebagai pengacara, namun status GL adalah terdakwa.

Namun GLdan istrinya TR justru menolak dan tetap ngotot memakai baju toga. Debat argumentasi berlangsung dengan penuh emosi. Bahkan TR juga menuding-nuding hakim.

Hal tersebut menunjukkan betapa mirisnya etika atau perilaku dalam pengadilan, yang mana hingga kini kasus tersebut masih sering ditemui disekitar kita.

Ini artinya perlunya sosialisasi untuk memberikan edukasi kepada masyarakat akan pentingnya beretika dalam persidangan sehingga mampu meminimalisir perbuatan yang justru mencemarkan, atau merendahkan kehormatan hakim.

Apa itu PMKH?

Berbicara mengenai apa itu Perbuatan Merendahkan Kehormatan Hakim atau disingkat PMKH, menurut Black’s Law Dictionary perbuatan melawan kehormarmatan hakim atau dalam kata lain Contempt of Court dalam hal ini PMKH ialah setiap perbuatan yang dapat dianggap menganggu atau merintangi, merongrong tugas peradilan dari badan-badan pengadilan ataupun segala tindakan mengikis kewibawaannya atau martabatnya.

Perbedaan mendasar antara contempt of court dengan PMKH disini terletak pada penamaannya saja, apabila melihat dari definisi keduanya maka tidak jauh berbeda dengan apa itu PMKH, dan apa itu Contempt Of Court karena memiliki persamaan yakni untuk mencegah perbuatan merendahkan kehormatan hakim, hal inilah yang harus kita garis bawahi.

Adanya pengaturan PMKH dimaksudkan untuk melindungi dan menjamin proses peradilan berjalan tanpa hambatan atau rongrongan dari berbagai pihak, antara lain pihak yang terlibat dalam proses peradilan, media massa, maupun pejabat pengadilan itu sendiri.

Pengaturan PMKH merupakan suatu upaya hukum untuk membela kepentingaan umum dan supremasi hukum agar proses peradilan dapat dilaksanakan dengan sewajarnya dan adil tanpa diganggu, dipengaruhi, dirongrong oleh pihak-pihak lain, baik selama proses peradilan berlangsung di pengadilan maupun di luar pengadilan.

Lembaga kekuasaan kehakiman dalam hal Komisi Yudisial Republik Indonesia selalu berupaya agar kualitas hakim sebagai aparat penegak hukum di Indonesia untuk selalu berbuat adil tanpa melanggar koridor hukum yang berlaku.

Salah satu kewenangan Komisi Yudisial (KY), yakni melindungi dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta tingkah laku atau perilaku hakim sebgaimana yang termaktubdalam UUD Tahun 1945 dalam Pasal 24B ayat (1) dan Pasal 13 UU No. 18 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.

Kewenangan yang dimiliki oleh KY tak terbatas hanya sebagai pengawas hakim yang dapat memberikan rekomendasi penjatuhaan sanksi bagi hakim yang melanggar Kode Etik. Melainkan Komisi Yudisial mempunyai tugas untuk melaksanakan advokasi hakim.

Advokasi Hakim sebagai solusi pencegahan PMKH

Advokasi hakim ini sejatinya telah dipraktikkan oleh KY sejak dikeluarnya Peraturaan Komisi Yudisial No 8 Tahun 2013 tentang Advokasi Hakim. Maka dari itu, di dalam momentum kontestasi politik pesta demokrasi Pemilihan Umum Tahun 2019 lalu, KY tidak hanya melakukan pengawasan terhadap hakim yang menangani sengketa pemilu di pengadilan, melainkan juga melakukan advokasi terhadap hakim. Artinya, memberikan perlindungan terhadap hakim dari tekanan pihak luar pengadilan maupuntekanan pihak yang ada di dalam pengadilan.

Mengutip pendapat Ketua Bidang SDM, Advokasi, Hukum, Reset dan Pengembangan KY, Sumartoyo (Majalah KY, Edisi April-Juni 2018), advokasi hakim bertujuan untuk melindungi hakim yang merasa terganggu dan terancam ketika sedang menjalankan tugas. Artinya, hal ini dilakukan terhadap perbuatan yang mengikis, menghina, kehormatan dan martabat hakim.

Advokasi hakim dilakukan dengan mengedepankan lima prinsip yakni prinsip imparsial, profesional, partisipatif, transparan dan akutanbel. Hal ini dipertegas oleh Peneliti Indonesia Legal Roundtable Andri Gunawan (Majalah KY, Edisi April-Juni 2018). Bahwa, advokasi hakim memang sudah menjadi kewenangan KY.

Advokasi ini dilakukan memang dalam konteks menjaga independensi peradilan. Sebab, banyak sekali memang hal-hal yang menyangkut independensi peradilan yang diintimidasi di banyak perkara. Dimana pelaksanaan tugas penegakan hukum dipengadilan beberapa kali diwarnai sikap dan perilaku sebagian masyarakat yang mengganggu rasa aman hakim, aparatur pengadilan, dan masyarakat pencari keadilan.

Selain melakukan advokasi hakim sebagai bentuk kewenangan KY, Lembaga Kekuasaan Kehakiman dalam hal ini Mahkamah Agung juga merespon keadaan tersebut dengan membangun Kelompok Kerja Penyusunan Protokol Persidangan dan Keamanan dalam Lingkungan Peradilan yang ditetapkan dengan Surat Keputusan Ketua MA No 175/SK/KMA/VII/2020 tanggal 22 Juli 2020.

Berbagai rangkaian pengkajian telah dilakukan oleh Pokja dengan melibatkan berbagai unsur dari internal dan eksternal pengadilan yang akhirnya MA menerbitkan PERMA Nomor 5 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan dalam Lingkungan Pengadilan yang diundangkan pada tanggal 4 Desember 2020 dan dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 No 1441. Dengan harapan bebagai upaya tersebut untuk meminimalisir PMKH. (Vina Septi Megita, Mahasiswa FSH UIN Sunan Ampel Surabaya)

Kejari Tanjung Perak Terima SPDP Joki UTBK
Sambut HBA ke 62, Kejari Natuna Adakan POR